KEBANGKITAN INTELEKTUAL MUDA MUHAMMADIYAH
PADA 18-20
November 2003 ini, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) bekerja sama
dengan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengadakan Tadarus Pemikiran Islam
bertema "Kembali ke Al Quran, Mencari Semangat Zaman" di Malang.
Kegiatan itu bertujuan memetakan pemikiran Islam kontemporer di dunia Islam,
khususnya yang berkait dengan dialog Islam-Barat dan menemukan kunci
hermeneutik (hermeneutical keys) untuk turut serta memecahkan problem kekinian.
Tidak berlebihan jika kegiatan ini merupakan tanda kebangkitan kembali
intelektualisme di kalangan Muhammadiyah, terutama kaum muda.
BEBERAPA dekade
terakhir, banyak kritik, sebagai gerakan pembaharuan (tajdid), Muhammadiyah
mengalami stagnasi dalam ranah pemikiran. Muhammadiyah tak berdaya menghadapi
gempuran problem sosial, ekses globalisasi, neokapitalisme, dan liberalisme
yang sulit dibendung. Kini, Muhammadiyah cenderung terjebak rutinitas aktivisme
yang acap kali menumbuhkan kejemuan, birokratisme, dan pragmatisme, bahkan
sementara aktivis lebih tertarik pada political achievement.
Sosok-sosok
seperti A Syafii Maarif, Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Moeslim
Abdurrahman adalah sedikit pemikir yang saat ini masih dimiliki Muhammadiyah.
Satu kenyataan yang sebetulnya tidak layak disandang gerakan Islam modernis
seperti Muhammadiyah.
Langkanya tradisi
reflektif di kalangan muda Muhammadiyah justru kian parah. Ini kemungkinan
besar disebabkan sistem perkaderan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) yang
cenderung menekankan sisi normatif dan aktivisme organisasi. Misalnya,
pelatihan perkaderan, kajian AD/ART, kajian Sistem Perkaderan lebih mendapat
porsi relatif besar dibandingkan dengan kajian yang bersifat diskursif, ilmiah,
dan intelektual. Bahkan untuk sementara aktivis, keinginan berpolitik praktis
lebih besar daripada bagaimana turut aktif memecahkan problem sosial keumatan
yang hingga kini masih menghantui eksistensi kita.
Maka, Tadarus
Pemikiran ini merupakan "oase" bagi keringnya naluri berintelektual
di Muhammadiyah dan kaum mudanya. Paling tidak, ini sebagai langkah awal
menghidupkan kembali (to revitalize) tradisi berpikir yang dulu diintroduksi
serius oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Intelektualisme
yang Dilupakan
Sejak didirikan,
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang memadukan ortodoksi dan
ortopraksis. Kala itu praktik ritual umat Islam ternoda tradisi
hinduistik-budhistik yang sarat takhayyul, bid’ah dan khurafat, dan praktik
keagamaan yang mekanistik tanpa terlihat kaitannya dengan perilaku sosial. Umat
Islam saat itu bodoh, miskin, dan terbelakang, tidak mampu melihat batas baik
dan buruk. Umat Islam tak berdaya melihat parade kolonialis Belanda di depan
mata mereka.
Hal inilah yang
menggugah Ahmad Dahlan untuk menyadarkan umat dengan jargon kembali kepada Al
Quran dan Sunah Nabi Muhammad Saw (al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah
al-Nabawiyah) dalam ranah agama, sosial, dan moral. Bersama murid-muridnya,
Ahmad Dahlan bergerak memurnikan akidah umat yang melenceng jauh dari sumbernya
sembari memecahkan problem kronis umat dengan mendirikan panti yatim, rumah
miskin, rumah sakit, dan sekolah.
Aksi sosial yang
dilakukan Ahmad Dahlan dan kawan-kawan tidak muncul begitu saja, tetapi lahir
dari refleksi kritis dan mendalam atas teks primer Islam dan kondisi sosial,
politik, budaya umat. Pendirian rumah miskin, panti yatim, dan rumah sakit,
diilhami firman Allah dalam surat Al Ma’un, Muhammad: 7; dan Al Ankabut: 69 (M
Soedja’, 1989). Hingga akhir hayatnya, Ahmad Dahlan dan kawan-kawan sekampung di
Kauman terus menggelindingkan doktrin sosial itu.
Sayang, KH Ahmad
Dahlan sama sekali tidak pernah menorehkan gagasan pembaruannya dalam warisan
tertulis, tetapi lebih pada karya dan aksi sosial nyata. Sosok Ahmad Dahlan
adalah sosok man of action. Dia made history for his works than his words,
tulis Alfian dalam disertasinya. Ini berbeda dengan tokoh pembaharu lain, A
Surkati dan A Hasan yang produktif menulis. Sehingga Ahmad Dahlan lebih dikenal
sebagai sosok pembaru yang pragmatis (Alfian, 1989).
Akibatnya, kader
Muhammadiyah lebih memahami, bermuhammadiyah adalah dengan aktif mengurusi dan
mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat prasekolah hingga perguruan tinggi,
panti asuhan, rumah sakit, dan amal usaha lain. Kader dan aktivis Muhammadiyah
bangga jika prestasi Muhammadiyah dijadikan obyek penelitian ilmiah sarjana
internasional, seperti James L Peacock, Mitsuo Nakamura, George Kahin, Robert
Van Neil, Drewes, Deliar Noer, Alfian, dan yang terakhir A Jainuri. Apalagi
saat Muhammadiyah disemati sebagai-seperti ditulis Peacock-the most powerful
Islamic reformist movement ever exist in Southeast Asia, perhaps in the world.
Pengabaian
semangat berpikir ini, tak ayal melahirkan kejumudan mayoritas kader dan
aktivis Muhammadiyah. Ruang spiritual, meminjam EF Schumacher, yang seyogianya
diisi tradisi refleksi kritis, justru dipenuhi sikap reseptif, tekstualis
terhadap doktrin Islam. Al Quran yang seharusnya dibaca secara kritis dan
dikontekstualisasikan guna pemecahan krisis sosial, hanya diperlakukan sebagai
kitab agung yang hanya dilantunkan dan dikidungkan.
Figur mulia
Muhammad sekadar dipahami dalam prespektif gestural-tekstualis, seperti cara
makan nabi, memelihara jenggot, tanpa menelisik lebih dalam makna perjuangan
nabi secara lebih luas. Cara bermuhammadiyah seperti ini bahkan menodai cita
awal Muhammadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan.
Kesadaran sejarah
yang kembali lahir di kalangan kaum muda Muhammadiyah harus diapresiasi, bukan
dicurigai. Kesadaran ini muncul seiring kian akutnya masalah kontemporer yang
dihadapi. Untuk itu, model intelektualitas yang harus dipilih adalah yang sadar
dengan realitas sosial dan melakukan pemihakan, penyadaran, serta pencerahan
bagi kemaslahatan bangsa, laiknya perjuangan Ahmad Dahlan kala itu.
Kesadaran
intelektual ini harus dapat mewujudkan gerakan yang kritis, independen, dan
sosialis-dalam pengertian mau membela dan memihak kaum tertindas dan lemah.
Sebab kata Ali Syariati, misi suci kaum intelektual atau cendekiawan adalah
membangkitkan dan membangun masyarakat bukan memegang kepemimpinan politik
negara, dan melanjutkan kewajiban dalam membangun dan menerangi masyarakat
hingga mampu memproduksi pribadi tangguh, kritis, independen, dan punya
kepedulian sosial tinggi (1996).
Dalam bahasa
Gramscian, kelompok ini disebut dengan intelektual organik, atau Moeslim
Abdurrahman menyebutnya sebagai subaltern intelectuals, intelektual akar
rumput. Lapisan kritis civil society yang bertindak sebagai artikulator
antikemapanan dan ketidakadilan (2003). Kaum intelektual yang peka dengan
realitas sosial, problem ketidakadilan dan ketertindasan. Dan juga, peka
terhadap limbah modernisasi dan globalisasi yang kian parah dan akut.
Kemiskinan,
keterbelakangan, krisis multidimensional yang sedang melilit menjadi
keprihatinan dan kegelisahan religius, sosial, dan moral intelektual akar
rumput Muhammadiyah ini untuk melakukan aksi penyadaran dan pencerahan rakyat.
Tidak sekadar berwacana dengan isu dan diskursus "mahal" dari
jangkauan rakyat kebanyakan. Bukankah Ahmad Dahlan telah memberi contoh terbaik
bagi perpaduan intelektualisme dan praksisme ini?
Andar Nubowo Aktivis
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM); Peneliti pada Center of
Muhammadiyah Studies PP Muhammadiyah
suardi.blogspot.com
"abadi perjuangan kami"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar